GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

PILAR-PILAR GPIB

Selasa, 26 Januari 2016
Pilar-Pilar GPIB
Pilar-Pilar GPIB

Istilah ’Pilar-Pilar’ disini digunakan dalam pembahasan berikut ini merujuk pada ’tiang penyangga’ sebuah bangunan. Tiang penyangga beda dari dasar atau fondasi. Kalau kita bicara tentang dasar atau fondasi, maka yang kita bicarakan adalah Yesus Kristus sendiri. Dialah ’Dasar’ sekaligus ’Kepala’ Gereja. Ada bangunan yang didirikan diatas dasar yesus Kristus ini. Bangunan itu bernama Gereja. Dan dalam hubungan itulah kita bicara tentang Pilar Pilar di GPIB.

Rekonstruksi Bangun - Pikiran
Kalau kita bicara di GPIB tentang pilar-pilar, maka yang ada dalam pemahaman adalah 3(tiga) pilar utama. Pilar pertama bernama theologi, pilar kedua bernama missiologi dan pilar ketiga bernama ekklesiologi. Kalau dituang dalam bentuk praktis, maka Theologia adalah Pemahaman Iman (PI), Missiologia adalah Pokok Pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pelayanan Gereja(PKUPPG) dan Ekklesiologi adalah aturan atau rambu untuk melaksanakan Missi. Dalam sejarahnya, GPIB menunjukkan bahwa hal ’kemandirian di bidang theologi’ oleh GPIB bukanlah hal teori. Kemandirian theologi ini dipraktekkan, berhubungan dengan tantangan yang dihadapi oleh GPIB sendiri. Telah terjadi sebuah proses panjang, dimana argumentasi dan kritik dari berbagai disiplin memperkaya pemahaman. Kita bisa melihat beberapa hal pokok seperti:

Hal Pertama: Pengalaman Historis GPIB.
Ketika dibentuk, GPIB tidak berpikir secara pilar-pilar. GPIB tidak memisahkan theologia dari missiologia dan ekklesiologi sebab semuanya merupakan kesatuan. Sebab tidak ada pembagian komisi atau seksi pembahasan dalam sistimatika ini. Yang terjadi adalah Dogma, Missi, maupun Ibadah dilihat sebagai kesatuan konsepsional. Hal hal yang menyangkut tindakan praktis yang merupakan keputusan kita mengerti sebagai ’program’. Jelasnya, yang ada pertama adalah ’konsep theologis’ -yang menyangkut hampir semua hal - dan ’keputusan praktis’ - yang sekarang kita kenal sebagai program. Lebih ringkas lagi, ada theologi dan ada program.
Signifikasi baru terjadi pada parohan pertama tahun 1960-an ketika konsep ’Jemaat Missioner’ dicanangkan. Tekanan theologis dari konsep ’Jemaat Missioner’ adalah melihat ’keseharian’ sebagai medan missi. Dalam prakteknya ditemukan bahwa Tata Gereja bisa jadi salah satu penghambat. Tata Gereja bicara banyak tentang organisasi, tapi tidak menjelaskan ’pola aksi’ bagi warga Jemaat sebagai pribadi. Tidak jelas kedudukan ’kesaksian kehidupan’ warga Jemaat dalam keseharian. Dalam Persidangan Persidangan Sinode GPIB mulai tahun 1970 kita mulai membaca semacam ’target pencapaian’ ke depan yang populer sebagai GBKUPG -Garis Garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan Gereja- sekarang ini mewujud dalam PKUPPG.

Hal Kedua: Terminologi.
Mereka yang -secara teoritis- belajar teologi sebetulnya agak sulit memisahkan antara teologi, missiologi dan ekklesiologi, sekalipun tahu perbedaannya. Ini karena batas batas cakupan bidang pembahasan sangat tipis. Karena itu sebuah simplifikasi seakan akan teologi adalah konsep konsep teoritis, missiologi adalah pandangan kedepan menyangkut visi dan missi, dan ekklesiologi adalah aturan aturan yang dibutuhkan agar vissi dan missi bisa dilaksanakan, sehingga konsep teoritis menjadi kenyataan; tidak selalu realistis khususnya dalam pengalaman historis GPIB.

Hal ketiga : Penerapan Terminologi.
Menempatkan Pemahaman Iman sebagai Teologi, memaksudkan agar Pemahaman Iman menjadi semacam payung teologi Gereja. Itu artinya semua pendapat teologis harus mengacu pada Pemahaman Iman. Asal saja dipahami sejak awal bahwa Pemahaman Iman adalah Pemahaman Iman dan bukan Pengakuan Iman. Sebab Pengakuan adalah salah satu acuan dasar untuk membuat Pemahaman Iman. Acuan lain adalah -tentu saja- Alkitab, Sejarah Gereja dan tantangan kontemporer. Menyamakan Missiologi dengan PKUPPG menjadi masalah besar. PKUPPG sebagai pokok pokok kebijakan terlalu ’tehnis’ dan karenanya sangat terbatas kalau dilihat sebagai missi Gereja. Mereka yang belajar missiologi secara teoritis akan melihat bahwa PKUPPG hanyalah landasan kegiatan, dan bukan landasan konsep.
Menyamakan Ekklesiologi dengan Tata Gereja yang -dalam kenyataan GPIB- melulu berisi aturan aturan organisasi adalah menyamakan ’ilmu tentang Gereja’ dengan seperangkat peraturan organisasi belaka. Mereka yang belajar Ekklesiologi pasti tahu bahwa ’manajemen organisasi’ hanya bagian kecil dari ilmu tentang Gereja.

Hal Keempat : Sistimatika Berpikir Kontemporer. 
Sekarang, di GPIB kalau kita bicara tentang ’Tata Gereja’, maka istilah itu , menunjuk pada satu kesatuan. Ada Tata Dasar, ada Peraturan Peraturan Pokok, ada Peraturan, dan ada Peraturan Pelaksanaan. ‘Tata Gereja’ yang dimaksud berada dalam satu kesatuan pikiran dengan dua hal lain, yakni Pemahaman Iman -yang berada lebih awal- dan PKUPPG -yang berada di akhir-. Kita memang belum menerima ’secara batin’ bahwa PKUPPG adalah Tata Gereja. Hal ini pasti ditentukan oleh kenyataan bahwa membahas PKUPPG cenderung membahas program yang dibutuhkan, sementara membahas Tata Dasar dst, cenderung membahas hal hal konseptual yang membuat program dibutuhkan. Tata Gereja sulit berubah, sementara PKUPPG bisa saja berubah secara cepat. Selain itu dalam kehidupan bergereja, mekanisme program jarang menjadi awal persoalan. Yang sering menjadi awal persoalan adalah mekanisme organisasi. Kedepan tidak mustahil bahwa baik Pemahaman Iman, Tata Dasar, rangkaian peraturan dan Pokok Pokok Kebijakan, semuanya akan dikumpulkan dalam satu wadah saja, yang bernama Tata Gereja.

Empat hal diatas mengantar kita pada keharusan untuk melakukan semacam rekonstruksi konseptual, pada tiga pilar utama’ Tiga pilar utama harus dimengerti secara baru, sesuai dengan kondisi GPIB sendiri. Rekonstruksi konseptual Tata Gereja GPIB ini terdiri dari:
Pemahaman Iman
Ini menjadi semacam mukadimah teologi. Disini pokok pokok soal yang dihadapi umat dalam kenyataan, disikapi.
Tata Gereja
Ini berisikan Tata Dasar dan Peraturan Peraturan. Bagian Pembukaan Tata Dasar menjelaskan Visi dan Missi. Ini bagian Missiologi. Berikut Bab Bab yang memuat pandangan Gereja tentang dirinya sendiri. Baik wujud dan bentuk sampai dengan hal hal menyangkut penggembalaan. Peraturan Peraturan merupakan ’rambu’ untuk memungkinkan apa yang dipahami dalam pemahaman Iman dan Tata Dasar itu menjadi kenyataan.
PKUPPG
Ini berisikan Kebijakan Kebijakan yang bersifat panduan dan strategis. Bagian ini bisa dimasukkan, akan tetapi bisa juga dikeluarkan dari keseluruhan Tata Gereja sebagai dokumen tersendiri. Dokumen ini menjadi semacam acuan program selama sekian tahun.

Secara praktis, urutannya menjadi : Pemahaman Iman – Tata Gereja – PKUPPG. Dengan demikian, maka urutannya adalah : (1) Teologi (2) Visi, Missi dan (3) Aksi. Theologi sebetulnya telah berisikan Visi dan Missi. Visi dan Missi menjadi landasan dasar untuk memutuskan aturan -regulasi- yang benar. PKUPPG -yang diambil dari uraian Visi dan Missi pada bagian Tata Dasar dalam Tata Gereja-, adalah kebijakan, yang bersifat panduan dan strategis. Evaluasi nyata dari hidup bergereja dilakukan dengan melihat pelaksanaan PKUPPG sebagai tolok ukurnya.

Ditulis oleh: Pdt. Samuel Theofilus Kaihatu, M.Th.
Index Artikel