Rabu, 27 Januari 2016
MEMINTA MAAF ATAU MEMAAFKAN
"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Matius 5:23-24).Manakah yang lebih berat “meminta maaf” atau “memaafkan”?
Dari ayat yang menjadi dasar renungan ini kita dapat melihat bahwa betapa pentingnya untuk berdamai di mata Tuhan, sehingga kita diminta untuk membereskan terlebih dahulu masalah yang mengganjal dan belum selesai itu sebelum kita datang membawa persembahan di hadapan Tuhan. Siapa yang bersalah terlebih dahulu ternyata bukanlah hal yang penting. Apa yang penting adalah kita membereskan dulu masalah dengan siapapun yang masih mengganjal dalam hati kita sebelum kita datang membawa persembahan dan ucapan syukur kita ke hadapan Tuhan.
Kebanyakan dari kita manusia selalu berpikir bahwa yang paling berat adalah memaafkan, karena orang yang memaafkan berada di posisi rugi/ menjadi korban, namun ia harus memaafkan orang lain yang telah merugikan/ menyakiti dirinya. Jarang sekali ada seseorang yang telah dirugikan/disakiti bisa langsung memaafkan orang yang menyakitinya. Umumnya yang terjadi adalah benih dendam. Maka orang yang memaafkan kesalahan orang lain, berarti ia mampu membuang jauh-jauh benih dendam dalam hatinya meskipun telah dirugikan/ disakiti.
Jika kita mau untuk merenungkan kembali lebih dalam, ternyata “tidak semua orang bisa minta maaf”. Banyak juga yang sulit mengeluarkan kata “maaf”, walaupun sudah jelas ia telah menyakiti dan merugikan orang lain. Untuk meminta maaf, sesesorang harus bisa (mau) “merasa bersalah” dahulu, artinya ia harus mengakui kesalahannya. Banyak sekali orang yang berbuat kesalahan tetapi tidak mau mengakui kesalahannya dengan alasan gengsi, malu dan takut harga dirinya direndahkan. Maka orang yang meminta maaf, berarti ia mampu menyadari kesalahannya, kemudian merendahkan diri, mengakui dan menyesali kesalahannya.
Kesimpulannya, “memaafkan” atau “meminta maaf” sama beratnya, yang menentukan adalah KETULUSAN. Karena ketulusan adalah jiwa, tanpa jiwa tubuh tidak berarti apa-apa. Tanpa ketulusan, “maaf dan memaafkan” hanyalah sebuah adegan sinetron. Sekarang tergantung di mana ketulusan berada.
SEMOGA KITA DAPAT MENGHADIRKAN KETULUSAN DALAM SETIAP PERBUATAN KITA.Disadur dari: http://airhidup.blogspot.com