GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

GPIB BAHTERA HAYAT SURABAYA

Jl. Laksda M. Natsir, Tanjung Perak, Surabaya. 60165.
Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah. (Lukas 13:29)

Minggu, 10 Januari 2021 - Renungan Pagi
DI BAWAH BAYANG-BAYANG BANALITAS

"Pujilah TUHAN, hai jiwaku" (ay.1)

Mazmur 104 : 1 - 5
HARI MINGGU I SESUDAH EPIFANI
MINGGU, 10 JANUARI 2021
Renungan Pagi
KJ.9 : 1-Berdoa


“Pujilah TUHAN, hai jiwaku" pasti sering kita dengar. "Sesuatu yang sering dilakukan atau berulang kali berlangsung adalah suatu banalitas", demikian pandangan Hannah Arendt (1906-1975), seorang filsuf perempuan. Banalitas, di dalam pemikiran Arendt, menyingkapkan suatu degradasi nilai dari suatu praktik yang sering dilakukan berulang kali. Pelaku kriminalitas yang mengulang-ulang bertindak kriminal tidak memandang tindakan tersebut destruktif, tetapi kebutuhan dan kelaziman. Inilah banalitas tersebut.
 
Setiap kita merenungkan "Pujilah TUHAN, haijiwaku!" di dalam banalitas. ltu berarti dua hal : pertama, degradasi nilai atas "Pujilah TUHAN, hai jiwaku!" mengintai setiap kita di saat merenungkan ungkapan di atas. Karena itu, ungkapan di atas tidak terasa "gregetnya". Bahkan, masing-masing kita tidak tergetar oleh ungkapan itu. Kedua, setiap kita menyadari bayang-bayang banalitas itu dan kemudian berusaha untuk keluar darinya.
 
Poin kedua adalah pilihan kita. Untuk itu, "Pujilah TUHAN, hai jiwaku!", perlu diinternalisasi sebagai "suplemen" bagi jiwa dari setiap orang yang menyatakannya. Tanpa "suplemen" tersebut, jiwa kita tak segar dan tidak vital. Jiwa yang tak segar dan tidak vital menjalani hidup sehari-hari tanpa rasa peka, peduli, inisiatif, dan kreatif. Jiwa itu sudah dipenjara rutinitas dan dibentuk oleh praktik kehidupan yang berulang-ulang. Keserakahan tanpa belas kasih terhadap hutan dan laut menjadi tontonan setiap hari. Ketidak pedulian terhadap ecocide (pembunuhan alam) juga ditonton setiap hari. Semua itu diulang-ulang setiap hari. Itu semua turut membentuk kita untuk tak peka, dan tidak peduli. Mari "Pujilah TUHAN, hai jiwaku!" Karena tanpa itu, jiwa kita layu dan tidak vital. "Pujilah TUHAN, hai jiwaku!" dapat dimulai dengan peduli terhadap hutan dan laut, serta mengurangi keserakahan tersebut.
 
 
KJ. 9 : 2
Doa : (Jiwa kami membutuhkan suplemen dari Engkau, ya Bapa. Mohon segarkan dan vitalkanlah jiwa kami)
🙏

Kembali